Mengevaluasi Program Pencegahan Penyakit Non-Infectious pada Ternak

MENGEVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT NON-INFECTIOUS PADA TERNAK (RUMINANSIA, UNGGAS, DAN ANEKA TERNAK)

Mengevaluasi Program Pencegahan Penyakit Non-Infectious pada Ternak

  1. Setelah mempelajari materi tentang mengevaluasi program pencegahan penyakit non-infectious pada ternak (ruminansia, unggas, dan aneka ternak), Peserta diklat mampu menjelaskan karakteristik program pencegahan penyakit tidak menular dengan benar.
  2. Setelah mempelajari materi tentang mengevaluasi program pencegahan penyakit non-infectious pada ternak (ruminansia, unggas, dan aneka ternak), peserta diklat mampu menilai kelayakan program pencegahan penyakit tidak menular dengan tepat.
  3. Setelah melakukan pencegahan penyakit non-infectious pada ternak, peserta diklat mampu membuat program pencegahan penyakit tidak menular dengan tepat.
  4. Setelah melakukan pencegahan penyakit non-infectious pada ternak, peserta diklat mampu melaksanakan program pencegahan penyakit tidak menular dengan baik.

A. MENJELASKAN KARAKTERISTIK PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT NONINFEKSI Kesehatan Ternak

1. Agen-Agen Penyebab Penyakit

Agen penyakit pada ternak dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a. penyebab fisik;
b. penyebab kimiawi; dan
c. penyebab biologis.
Penyebab penyakit akibat kimiawi maupun fisik merupakan penyakit yang bersifat tidak menular (noninfeksius), sedangkan sebaliknya penyakit akibat biologis merupakan penyakit yang bersifat menular (infeksius). Di sini, yang akan kita pelajari adalah penyakit yang bersifat tidak menular.

a. Penyebab Fisik

Penyakit ternak yang disebabkan oleh agen fisik antara lain luka akibat benturan atau terjatuh karena lantai kandang yang licin pada sapi. Penanganan kasar oleh anak kandang sering kali menyebabkan luka-luka pada tubuh ternak.

b. Penyebab Kimiawi

Penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang bersifat kimiawi antara lain penyakit defisiensi dan keracunan. Penyakit defisiensi mineral, seperti kalsium menyebabk a n p e r t u m b u h a n t e r h a m b a t , konsumsi pakan turun, laju metabolik basal meningkat, aktivitas menurun dan osteoporosis. Defisiensi vitamin, misalnya vitamin D menyebabkan rachitis, terutama pada hewan muda dan osteomalasia padaternak yang sudah sempurna tulangnya, namun diberi pakan dengan kadar vitamin D yang kurang dari kebutuhan Osteomalasia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh dekalsifikasi sebagian tulang sehingga mengakibatkan tulang menjadi lunak dan rapuh. Keracunan bisa juga disebabkan oleh bahanbahan anorganik, seperti H2S ,NH3, CH4, merkaptan, dan lain-lain. Bahanbahan tersebut sebagai kontaminan yang dibebaskan dari kotoran ternak.

Amoniak memiliki arti penting pada peternakan ayam karena gas tersebut tersebar luas di peternakan dan memberikan andil yang cukup besar dalam mempengaruhi kesehatan ternak maupun dan manusia.
Rumah Potong Hewan (RPH) juga merupakan sumber pencemaran, karena biasanya isi saluran pencernaan atau feses dan bahan-bahan lain berupa sisa daging, lemak, dan darah yang dibuang langsung ke sungai.

Limbah tersebut mengandung N, P, dan K serta kontaminan biologis yang berupa bakteri, jamur, virus, dan parasit yang merupakan sumber infeksi yang bisa menular ke ternak lain dan banyak di antaranya bisa menyerang manusia.

B. MENILAI PROGRAM KELAYAKAN PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT NONINFEKSIUS PADA TERNAK

Penyakit Noninfeksius Ternak Berikut merupakan contoh penyakit akibat kimiawi maupun fisik yang bersifat tidak menular (noninfeksius).

1. Indigesti Rumen Sarat (asidosis rumen) Etiologi

Gangguan ini disebabkan karena sapisapi memakan bahan makanan penguat yang kaya akan karbohidrat secara berlebihan. Selain itu juga karena kesalahan pengelolaan pakan, sapi-sapi yang terdiri atas berbagai umur yang dicampur dan mendapatkan jenis konsentrat yang sama, sapi yang lebih kuat akan mendapat porsi jauh lebih banyak daripada yang lemah. Karena terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu tinggi karbohidratnya, seekor sapi dapat menderita asidosis rumen. Kejadian rumen sarat banyak ditemui di lapangan dan terjadi karena kondisi hewan yang jelek dengan kualitas pakan yang kurang bermutu, yang kebanyakan terdiri atas serat kasar (jerami). 

Patogenesis

Dalam keadaan normal, hasil pencernaan karbohidrat berupa asam lemak berantai pendek. Asam cuka (60—65%) dan asam susu atau laktat yang jumlahnya kurang dari 20% mg. Asam lain yang jumlahnya sedikit adalah asam semut, valerat, kaproat, dan suksinat. Karena pergantian susunan pakan, dari susunan berimbang ke susunan yang kaya akan karbohidrat, bakteri-bakteri gram coccosbovis berkembang biak dengan cepat, dan kemudian digantikan oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri ini akan menghasilkan asam susu yang berlebihan, sampai 20%, hingga mampu menurunkan derajat keasaman normal (pH 6—7) menjadi asam sekitar pH 4.

Pada saat yang sama histamin juga diproduksikan sebagai hasil dekarboksilasi histidin. Meningkatnya asa susu yang berlebihan mengakibatkan kenaikan kadar asam di dalam darah, sehingga terjadi asidosis. Produksi histamin juga akan diserap oleh darah hingga menyebabkan toksemia. Pada derajat keasaman (pH) 5,5 sehingga dinding rumen jadi mudah mengalami lesi, yang selanjutnya merupakan pintu bagi bakteri patogen masuk ke jaringan lain melalui aliran darah. Sebagai akibat matinya bakteri-bakteri yang tidak tahan asam, produksi vitamin B1 juga menurun.

Rumen yang pada awal kejadian indigesti berisikan cairan yang cukup karena menarik cairan dari jaringan lain, dalam waktu beberapa hari juga akan kekurangan cairan, dengan akibat lebih lanjut rumen jadi sarat berisikan ingesta yang kering. Selanjutnya karena penurunan aliran darah pada dinding rumen dan retikulum, oleh karena meregangnya jaringan, tonusnya pun akan menurun, sel kekurangan nutrisi, hingga selaput lendir akan mengalami kematian (nekrobiosis) (Subronto, 2003).

Gejala Klinis

Gejala indigesti bentuk ini dimulai dengan adanya rasa sakit pada daerah abdomen. Hewan tampak lesu dan malas bergerak, nafsu makan dan minum hilang. Rumen mengalami distensi ke arah lateral maupun medial. Hewan juga selalu mengalami dehidrasi berat yang ditandai dengan keringnya cermin hidung, kulit dan bulu tampak kering, serta bola mata yang tenggelam di d a l a m ro n g g a m a t a .

T i n j a h a n y a terbentuk sedikit, konsistensinya lunak seperti pasta, bercampur lendir, dan berwarna gelap dengan bau yang menusuk Oleh adanya asam yang berlebihan asidosis akan menyebabkan kenaikan frekuensi pernapasan. Kebanyakan kasus diikuti dengan kelemahan jantung kompensatorik, dengan pulsus piliformis yang frekuensinya sekitar 120—140 kali/menit. Karena dehidrasi yang berat, urine yang terbentuk dan dikeluarkan sangat sedikit bahkan bisa terjadi anuria.

Terapi

2. Indigesti Sederhana atau Simpleks

Pada gangguan yang bersifat awal, dapat diberikan larutan magnesium sulfat atau sodium sulfat 1—2 kali. Antihistamin, seperti DelladrylR sebanyak 10—15 ml secara suntikan. Pemberian antibiotik secara oral, misalnya penisilin untuk mengurangi jumlah Lactobacillus dengan dosis 10 juta unit untuk sapi, kemudian diulang 12 jam kemudian (Subronto, 2003).

Pada penderita yang mengalami dehidrasi, dilakukan penggantian cairan yang hilang, jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi. Untuk mengurangi asidosis dapat diberikan larutan sodium bikarbonat 2,5% sebanyak 500 ml secara intravena perlahan-lahan untuk m e n g h i n d a r i a l k a l i e m i a , a t a u pemberian soda roti 250 gram peroral 2 kali/hari (Subronto, 2003).

Indigest sederhana merupakan gangguan sindrom pencernaan yang berasal dari rumen atau reticulum, ditandai oleh hilangnya gerak rumen atau lemahnya tonus rumen hingga ingesta tertimbun di dalamnya dan serta juga ditandai dengan konstipasi.

Etiologi

Menurut Subronto (2003), kebanyakan kasus terjadi akibat perubahan pakan yang mendadak, terutama pada hewan muda yang mulai menyesuaikan diri untuk diberikan dengan baik akan tertimbun di dalam rumen, yang secara reflektoris mendorong rumen untuk berkontraksi berlebihan.


Akibat hal tersebut, maka akan terbentuk asam laktat secara berlebihan yang kemudian menyebabkan gerakan rumen menjadi melemah. Dalam keadaan stasis rumen, pembentukan asam lemak volatile menjadi terhalang. Karena asam lemak tersebut diperlukan sebagai pembentukan air susu, dalam keadaan stasis rumen maka produksi susu akan menurun.

Gejala Klinis

Penderita tampak lesu dan malas bergerak, nafsu makan hilang, sedangkan nafsu untuk minum meningkat. Pada a w a l n y a , f r e k u e n s i g e r a k r u m e n meningkat selama beberapa jam dan diikuti dengan penurunan frekuensi gerak dan tonus rumen. Pada palpasi, rumen terasa ingesta lunak tapi tidak mencapai median dari rumen. Pembesaran rumen tidak terlalu berarti (Subronto, 2003). Pada umumnya, frekuensi pernafasan dan pulsus masih dalam batas normalnya. Feses yang dikeluarkan biasanya hanya sedikit berlendir dan berwarna gelap dengan konsistensi lunak.

Diagnosis

Penentuan diagnosis harus didasarkan pada data-data di atas. Dalam diagnosis banding perlu diperbandingkan dengan ketosis, retikulo peritonitis traumatika, dan dysplasia abomasa. Pada ketosis biasanya terjadi dalam waktu dua bulan pertama setelah kelahiran dan disertai dengan kenaikan mencolok dari bendabenda keton dalam darah dan kemihnya. Pada retikulo peritonitis traumatika gejala klinis yang ditemukan bersifat menonjol. Gambaran darahnya menunjukkan adanya perubahan radang akut. 

Terapi

U m u m n y a d a p a t s e m b u h d e n g a n sendirinya, pemberian makanan penguat atau makanan kasar hendaknya dihentikan sementara. Air minum yang ditambahi garam harus diberikan secara adlibitum. Untuk pengobatan dapat pula obat parasimpatomimetik seperti carbamyl-cholinedengan dosis 2—4 ml, disuntikkan subcutan pada sapi dan kerbau dewasa untuk merangsang gerak rumen. Secara oral, preparat magnesium sulfat atau sodium sulfat, dengan dosis 100—400 gram dapat diberikan dengan aman.

3. Milk fever

Penyakit ini umumnya terjadi pada sapi p e r a h . K a l s i u m e s e n s i a l u n t u k hematologi, kontraksi otot, dan metabolisme tulang Etiologi Kadar kalsium darah di bawah normal (<7 mg/dl). Faktor karena produksi susu tinggi, ternak berusia tua, manajemen pakan masa kering kurang baik. Pada domba umumnya terjadi pada akhir kebuntingan, sedangkan pada kambing terjadi sebelum partus sebagaimana pada domba atau pascapartus terutama pada kambing perah yang berproduksi tinggi.

Gejala Klinis

Stadium awal (stadium eksitasi) hewan tampak kaku, tidak bergerak, anoreksia. Gejala ini umumnya tidak begitu tampak karena berlangsung sangat singkat. Stadium dua (stadium sternal) hewan tidak mampu berdiri, namun masih rebah sternal. Depresi, anoreksia, cuping hidung kering, suhu sub normal, ekstremitas dingin. Stadium tiga (stadium terminal) hewan rebah lateral, lethargi, takikardia (120/menit), pulsus tidak terdeteksi, bloat. Kesadaran mulai hilang, tidak responsif terhadap rangsangan, koma. Gejala pada domba biasanya ambruk, paralisis. Namun, kadang juga ditemukan tremor dan tetani. Rebah sternal sebagaimana terjadi pada sapi jarang ditemui pada domba. Gejala pada kambing mirip seperti pada domba.

Terapi

Sapi sebaiknya diposisikan rebah sternal. Berikan preparat kalsium seperti kalsium glukonat 23% 500 ml intravena. Pemberian kalsium sebaiknya secara perlahan dan periksa denyut jantung secara teratur. Bila terapi berhasil, maka sapi biasanya akan eruktasi, urinasi, defekasi dan berusaha bangun atau berdiri. Biasanya dalam 30 menit setelah terapi hewan akan berdiri. Bila perlu pemberian kalsium diulangi dalam 12 jam. Pada domba atau kambing dapat diberikan kalsium buroglukonat 23%
sebanyak 50—500 ml. Pencegahan dengan memberikan diet rendah kalsium saat masa kering setidaknya seminggu sebelum partus. Pemberian vitamin D3 menjelang partus.

4. Grass Tetany

L a c t a t i o n t e t a n y, h i p o m a g n e s i a . Penyakit ini berkaitan dengan magnesium esensial dalam metabolisme, saraf, dan muskulus. Etiologi Kadar mg darah di bawah normal (<1,5mg/dl). Output dan input magnesium tidak seimbang. Kadar kalium rumen meningkat akibat defisiensi natrium (garam). Absorbsi mg menurun bila intake kalium meningkat.

Gejala Klinis

Gejala yang terlihat adalah kematian mendadak tanpa gejala terutama pada sapi yang di kandang. Mulut dan hidung berbuih. Hewan menunjukkan gejala saraf, jalan kaku, gallop, melenguh keras sebelum rebah dan tidak bisa bangkit lagi. Tidak respons terhadap rangsangan (sinar, suara, sentuhan), kejang, tetany, menendang, tidak mampu mengerakkan kaki selama 3—4 hari.

Diagnosis

Produksi susu rendah akibat stres lingkungan, kadar mg hijauan yang kurang (muda), perubahan pakan kering ke hijauan muda.

Terapi

Pengobatan: Injeksi 1,62,7 mg boroglukonas, garam klorid, atau hipofosfit. Kombinasikan dengan kalsium. 0,04 ml/menit/kg 25% larutan mg (0,025 g / m l ) . O r a l m a g n e s i u m u n t u k pencegahan.

5. Alkalosis Rumen Etiologi Etiologi

Karena diakibatkan oleh penggantian pakan dengan senyawa penghasil nitrogen dari senyawa nonprotein, antara lain urea, biuret, dan garam ammonium. Senyawa tersebut umumnya digunakan sebagai peng-ganti protein, yang apabila digunakan secara berlebih dapat menyebabkan terjadinya alkalosis rumen yang disertai dengan intoksikasi (Subronto, 2003).

Patogenesis

Dalam rumen ruminansia, protein dan senyawa yang mengandung N (Non- Protein Nitrogen) dimetabolisir hingga terbentuk ammonia yang merupakan konstituen utama dari cairan rumen. Bila karbohidrat cukup tersedia sebagai substratnya, ammonia yang terbentuk berguna untuk pembentukan protein mikroba. Hidrolisis ureum oleh urease menjadi NH3 dan CO2, berlangsung cepat, kurang dari 1 jam.

Peningkatan ammonia berakibat naiknya pH isi rumen manjadi 7,5—5 atau lebih. Kenaikan pH tersebut akan menyebabkan mati dan lisisnya protozoa dan mikroorganisme yang tidak tahan suasana alkalis, dan terjadilah indigesti. Indigesti terjadi karena protozoa yang merupakan 20—50% dari massa mikroba rumen, atau 10% dari isi rumen, kematiannya akan memerostkan fermentasi dalam waktu 24—48 jam. 

Meningkatnya ion NH4+ diduga akan mengakibatkan terjadinya ikatan ion karbonat dalam hati, hingga terjadi rangsangan saraf perifer maupun otonom yang menyebabkan tremor otot, hipersalivasi, kejang tetanik, maupun meningkatnya peristaltik usus.

Gejala Klinis

Gejala yang tampak adalah seperti gejala saraf seperti, tremor pada otot-otot perifer, gigi gemeretak dan hewan tak mampu berdiri. Kekejangan tetanik biasanya muncul tidak bersifat terusmenerus.
Pernapasan dangkal dan
cenderung dipaksakan. Feses yang
keluar bersifat seperti lendir dan dalam
jumlah yang tidak banyak.

Diagnosis

Kalau pH tinggi protozoa akan mengalami kematian. Derajat keasaman 7,5 atau lebih indikatif adanya keracunan atau rumen alkalosis. Kadar NH3-N sebesar 3—6 mg/dl indikatif untuk rumen alkalosis, yang mungkin karena keracunan urea.

Terapi

Untuk menetralkan isi rumen maka dapat diberikan larutan cuka (vinegar) 5% sebanyak 2—6 liter. Diberikan langsung intraruminal dengan sonde kerongkongan. Penyuntikan MgSO4 untuk mengurangi kejang otot secara intramuscular juga dapat dilakukan.

6. Kembung Rumen (Meteorismus, Timpani Rumen, Bloat)

Etiologi

Imbangan antara pakan hijau dan konsentrat yang tidak seimbang, serta tanaman yang dipanen sebelum berbunga (muda) dapat berpotensi terjadinya kembung rumen. Keadaan sapi juga berpengaruh dalam timbulnya kembung antara lain faktor keturunan dan pH saliva yang pada kondisi normal dapat mencegah pembentukan busa berisikan gas.

Gejala Klinis

Tampak pembesaran rumen, menggembung pada daerah fossa paralumbar sebelah kiri. Sapi tampak menjulurjulurkan leher kedepan, tampak gelisah. Nafsu makan hilang. Pulsus mengalami peningkatan. Rumen mengalami distensi arah medial yang dapat diketahui dengan palpasi rectal. Pada perkusi atas daerah rumen akan ditemukan suara timpani.

Diagnosis

Ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis saat pemeriksaan, dan riwayat ganti pakan secara mendadak. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan keracunan insektisida fosfor organik, karbonat, chlorinated hydrocarbon, nitrat, sianida, strichnin, dan grain overload/asidosis rumen (Subronto, 2003).

Terapi

Dengan perlakuan trokarisasi atau pemberian obat karminativa. Karminativa merupakan obat yang dapat meningkatkan pengeluaran gas dari lambung (via eruktasi). Umumnya berupa minyak volatil yang mudah diekskresikan lewat paru-paru, ginjal, dan kulit. Contoh: -terpentin-camphorpipermin- ginger-serbuk anisi-menthol Mekanisme kerja: pada iritasi mukosa GI, merelaksasikan spingter kardia sehingga gas keluar.

7. Indigesti dengan Toksemia

Etiologi

Karena adanya senyawa-senyawa amine. Senyawa yang berlebihan akan diserap oleh darah.

Patogenesis

Toksik dari senyawa yang berlebihan akan menyebar ke organ tubuh melalui darah. Sel hati mengalami keracunan akibat senyawa amine yang bersifat toksik. Gangguan metabolisme karbohidrat mengakibatkan penurunan kadar glukosa dalam darah. Peningkatan pemecahan protein akan terjadi peningkatan senyawa nonprotein nitrogen dalam darah. Hal ini akan mempengaruhi kerja setiap organ. Gangguan sirkulasi akan diikuti dengan gangguan pernafasan yang menagkibatkan lemahnya hewan penderita.

Gejala Klinis

Hewan mengalami kelemahan hingga tidak mampu berdiri. Mengalami anuria, n a fs u ma ka n me n u r u n , t i d a k a d a aktivitas memamah biak. Feses yang dikeluarkan berbentuk pasta dan berbau menusuk.

Diagnosis

Perlu dibedakan dari keracunan bahanbahan anoganik dalam dosis subletal serta dari penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum dan Clostridium perfringens.

Terapi

Terapi yang diberikan biasanya bersifat simtomatik. Pemberian cairan elektrolit dan dextrose fisiologis. Diberikan pula obat yang merangsang ruminatoria dan pemberian antihistamin (diphenhidramin HCl).

C. MEMBUAT PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT NON-INFECTIOUS PADA TERNAK

Program Pencegahan penyakit Non-Infesiksius Pemberian suplemen pada ternak merupakan strategi yang dapat dilakukan peternak untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan, produktivitas ternak secara efisien. Suplemen mengandung banyak nutrien, terutama protein dan energi.

Manfaat pemberian suplemen bagi ternak adalah sebagai pelengkap nutrien yang dibutuhkan oleh ternak sehingga akan berdampak pada pertumbuhan, reproduksi, dan produksi yang optimal.

Bentuk suplemen ada 2 macam, yaitu bentuk padat dan bentuk cair. Bentuk padat biasanya diberikan pada ternak ruminansia dalam bentuk pakan misalnya UMMB (Urea Molasses Multinutrient Block) yang banyak diberikan pada ternak sapi.

Sedangkan bentuk cair biasanya banyak diberikan pada ternak unggas seperti ayam dan bebek, yang diberikan melalui air minum atau bisa juga diberikan melalui pakan dengan cara mencampurkan suplemen cair dengan bahan-bahan pakan yang telah disatukan atau dicampur.

Pada ternak ruminansia pemberian suplemen dalam bentuk padat (pakan) sangat berkaitan dengan konsentrat sebab keduanya sama-sama memiliki fungsi untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan jumlah mikroba di dalam rumen sehingga dapat menyerap nutrisi makanan terutama serat kasar lebih banyak.

Pemberiannya pun sama diberikan sebelum ternak diberi pakan utama yaitu hijauan makanan ternak. Bahan-bahan yang dapat digunakan berasal dari limbah industri pertanian, perikanan, peternakan, dan makanan yang bernilai ekonomi rendah, tetapi masih mengandung nilai gizi yang cukup tinggi.

D. MELAKSANAKAN PROGRAM PENCEGAHAN PENYAKIT NONINFEKSIUS PADA TERNAK

Kelayakan Program Kesehatan

Kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan telah banyak dilakukan oleh setiap peternak, lembaga pemerintahan baik Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan maupun Puskeswan. Untuk mengetahui keberhasilan dan kegagalan dari program pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan maka sebaiknya perlu dilakukan evaluasi.

Adapun tujuan dari evaluasi program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan adalah:

1. Tujuan umum.

Mengetahui gambaran pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan pada tahun yang akan dievaluasi.

2. Tujuan Khusus.
  1. Mengetahui pencapaian program pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan mulai dari input, proses, dan output pada tahun yang akan dievaluasi.
  2. Mengetahui hambatan dalam pelaksan a a n p ro g ra m p e n ce g a h a n d a n pemberantasan penyakit hewan.
  3. Memberikan rumusan saran dan tindaklanjut untuk upaya perbaikan program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit.

Beberapa ahli manajemen membagi ruang lingkup evaluasi dari berbagi segi, tetapi bila dikaji secara mendalam, pada dasarnya pembagian satu dengan yang lainnya saling melengkapi sehingga salah satunya dapat saja dipergunakan untuk menilai pencapaian suatu program kesehatan hewan.

Dalam Penilaian program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan maka monitoring dan evaluasi program bertujuan untuk mengukur pencapaian dan kemajuan program, mendeteksi dan memecahkan masalah, menilai efektivitas dan efesiensi program, mengarahkan alokasi sumber daya program, mengumpulkan informasi dan menilai kesinambungan program.

Dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi maka memungkinkan pengelola program menilai keefektivan inisiatif pengendalian dan harus dilakukan secara terus-menerus.

Menurut Azwar (1996), dalam penilaian pencapaian suatu program maka secara sederhana untuk kepentingan praktis, penilaian program dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu:

1. Penilaian terhadap masukan (input)
Yaitu penilaian yang menyangkut pemanfaatan sumber daya, baik dana, tenaga maupun sarana/prasarana.

2. Penilaian terhadap proses (process)
Yaitu penilaian yang dititikberatkan pada pelaksanaan program apakah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau tidak.

3. Penilaian terhadap keluaran (output)
Yaitu penilaian yang dilakukan untuk melihat hasil yang dicapai dari proses kegiatan yang telah dilaksanakan.

4. Penilaian terhadap dampak (outcome)
Yaitu penilaian yang dilaksanakan dengan melihat dampak program mencakup pengaruh yang ditimbulkan dari dilaksana-kannya suatu progam. 

Adapun metode dalam evaluasi (Purnama, 2011) meliputi:

1. Subjek Evaluasi
Subjek dalam evaluasi ini adalah petugas pengelola program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan yang ada di suatu peternakan.

2. Rancangan Evaluasi
Evaluasi dikaji berdasarkan 4 aspek, yaitu aspek input, aspek proses, aspek output, d a n a s p e k o u t c o m e d a r i p r o g r a m Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan di peternakan. Keempat aspek tersebut akan dikaji dengan menggunakan kajian deskriptif.

Alat ukur yang digunakan dalam evaluasi ini adalah wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan telaah dokumen terhadap aspek input, proses, output, dan outcome.

Bila kita ingin mengevaluasi program pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan di peternakan, maka kita dapat menggunakan beberapa variabel. Adapun variabel yang akan dievaluasi meliputi:

1. Aspek masukan (input)

a. Sumber daya manusia:
  1. Kuantitas meliputi jumlah, jenis tenaga kerja, tenaga vaksinasi dan eliminasi serta kader.
  2. Kualitas meliputi pendidikan terakhir yang pernah ditempuh, m a s a / l a m a k e r j a p e k e r j a d i peternakan.
b. Sarana dan Prasarana di peternakan seperti:
  1. Petunjuk dalam pelaksanaan/ petunjuk teknis kegiatan program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 2) Buku pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
  2. Buku pedoman Tatalaksana Kasus Penyakit bagi Petugas Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
  3. Juklak/juknis, yaitu petunjuk dalam p e l a k s a n a a n /p e t u n j u k d a l a m teknis kegiatan program Pence g a h a n d a n Pe m b e ra n t a s a n P e n y a k i t H e w a n ( S t a n d a r d Operational Procedure/SOP).
  4. Media publikasi, KIE, dan audio visual tentang penyakit hewan yang d i g u n a k a n d a l a m p r o g r a m Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan seperti leaflet, pamflet, spanduk, dan lain-lain.
  5. Formulir pencatatan/pelaporan dan supervisi kegiatan Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan seperti pelaporan PDSR, NVS, P e n y e l i d i k a n E p i d e m i o l o g i , Outbreak Investigasi, dan lainnya.
  6. Komputer yang siap pakai untuk pengolahan data dalam kegiatan Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan.
  7. Ketersediaan media publikasi, KIE, dan audio visual.
  8. Ketersediaan kendaraan operasional  untuk pelaksanaan kegiatan Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
  9. Ketersediaan alat-alat dan obatobatan di peternakan
  10. Ketersediaan alat laboratorium u n t u k p e n e n t u a n d i a g n o s i s penyakit hewan.
2. Aspek Proses

a. Perencanaan
Penyusunan dokumen dalam bentuk rencana kerja tahunan, semesteran, atau bulanan yang disertai dengan rincian biaya (surveilans epidemiologi, epidemiologi, tatalaksana kasus, penyuluhan, pertemuan, pelatihan dan penelitian, alat dan bahan laboratorium, obat-obatan, monitoring/ pemantauan).

CAKRAWALA

Bagaimana mengobati luka pada kulit kambing dengan obat tradisional? Pengobatannya ada beberapa alternatif sebagai berikut.
  1. Daun sirih diperas airnya, digunakan untuk membersihkan luka;
  2. Daun tembakau diberi air dan diperas, dicampur kapur sirih;
  3. Biji pinang ditumbuk, dicampur tawas dan kapur sirih;
  4. Dibubuhkan pada luka;
  5. Tokek dipanggang, ditumbuk, dan diberikan pada ternak yang terserang kutu;
  6. Daun ketapang dibubuhkan pada daerah yang terserang gudig;
  7. Tumbukan abu yang dicampur dengan minyak kelapa kemudian dioleskan pada luka.

PRAKTIK

Judul : Mengidentifikasi jenis–jenis penyakit tidak menular pada aneka ternak.Waktu : 3 x 45 menit
Tujuan : Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta didik diharapkan mampu mengi d e n t i f i k a s i j e n i s - j e n i s penyakit tidak menular pada aneka ternak dengan benar.

Alat:
  1. Peralatan pemeriksaan seperti stetoskop, mikroskop, kaca pembesar, dan sebagainya.
  2. Gambar dan video tentang jenis-jenis penyakit tidak menular pada aneka ternak, penyebab, dan gejala-gejalanya.
Bahan:
  1. Aneka Ternak unggas (ayam lokal/burung merpati/kalkun/angsa, dan lain-lain)
  2. Aneka ternak monogastrik (kuda/babi/ kelinci)
  3. Aneka hewan kesayangan (kucing/anjing)
  4. Lembar pengamatan
  5. ATK
K3:
  1. Gunakan pakaian kerja
  2. Gunakan APD yang sesuai
  3. Hati-hati ketika mendekati ternak
Langkah Kerja:
  1. Silakan bergabung membentuk kelompokkelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari 5—6 orang.
  2. Setiap kelompok memilih seorang ketua dan seorang sekretaris.
  3. Lakukan dan biasakan untuk berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Lakukan kegiatan ini dengan cermat, teliti, sungguh-sungguh, hati-hati, jujur, dan penuh tanggung jawab.
  4. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan.
  5. Pastikan alat dan bahan yang akan Anda gunakan lengkap dan dapat digunakan dengan baik.
  6. Amati dan pelajari dan catat dengan teliti informasi yang anda peroleh dari gambargambar atau video tentang jenis–jenis penyakit tidak menular pada ternak ruminansia, penyebab, dan gejala-gejalanya.
  7. Lakukan praktik pengamatan terhadap kondisi ternak ruminansia yang ada di dalam kandang tentang ada atau tidaknya gejala-gejala yang berkaitan dengan penyakit tidak menular pada ternak tersebut.
  8. Gunakan lembar pengamatan yang telah disiapkan.
  9. Lengkapi hasil pengamatan yang telah Anda lakukan dengan wawancara terhadap pengelola budi daya ternak tersebut atau sumber lain yang relevan.
  10. Bandingkan hasil pengamatan yang Anda lakukan dengan gambar atau video yang telah Anda pelajari dengan teliti.
  11. Adakah penyakit tidak menular yang diderita ternak ruminansia yang ada di dalam kandang?
  12. Lakukan diskusi kelompok tentang hasil pengamatan dan wawancara serta pengamatan terhadap gambar atau video yang telah Anda lakukan.
  13. Setelah selesai melakukan kegiatan praktik, bersihkan kembali tempat kegiatan praktik dan peralatan yang digunakan seperti sedia kala.
  14. Kembalikan alat dan bahan ke tempat semula.

Demikian paparan kami mengenai cara mengevaluasi program pencegahan penyakit non-infectious pada ternak ruminansia, unggas, dan aneka ternak lainnya. Semoga bisa membantu.